Bebas?
Suatu kata sederhana yang biasa dikumandangkan oleh manusia yang merasa dijajah. atau dilontarkan oleh manusia yang sedang berada dalam kekangan. Aku sering mendengar kata-kata itu dikumandangkan dengan lantang. Aku mendengar dari rekan yang didepan mata hingga rekan yang kulihat dari kaca jendela media.
Apakah itu bebas?
Om Wikipedia berkata bahwa bebas adalah: “lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dng leluasa), lepas dr (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dsb). tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb). tidak terikat atau terbatas oleh aturan dsb. merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing). tidak terdapat (didapati) lagi” de el el.....
“bebas” yang ku tahu adalah segala sesuatu tindakan bertanggung jawab dan tidak merugikan orang lain, dilakukan leluasa tanpa adanya kurungan dan kekangan dari pihak manapun.
Teriakan kebebasan itu makin nyaring terdengar. Kuintip suara sumbang itu, kudapati :
Teriakan kebebasan itu makin nyaring terdengar. Kuintip suara sumbang itu, kudapati :
Ketika rekan sebayaku berteriak bebas. yang kutangkap hanya perbuatan semaunya tanpa mengindahkan peraturan norma dan etika? Suara kebebasan itu menggelegar seakan akan sebagai jeritan hati memperlihatkan tingkat kedewasaan sehingga merasa tidak boleh adanya aturan melarang apapun tindak tanduk yang dilakukannya. Ketika sebayaku tanpa malu berpegangan tangan, berpelukan, rangkulan, tidur sekamar, dengan kekasih hati yang belum terikat resmi. Dengan santainya membiarkan pandangan umum melihat semua itu atas alibi teriakan kata “bebas” menikmati usia muda.
Ketika rekan sebaya ku berteriak “bebas”. Kebebasan itu dikumandangkan ditengah jalan. Tanpa mengkaji terlebih dahulu apa yang diteriakkannya dan apa yang dibelanya? Hanya karena beberapa lembar rupiah dari pihak yang berkepentingan didalamnya dia memprovokasi keadaan dan kembali meneriakkan “bebas” menikmati pesta pora demokrasi negri.
Ketika pemimpin ku berteriak “bebas”. Kebebasan itu diekspose kemuka umum dengan liputan media, tapi dibalik meja mereka mengganti kebebasan itu dengan lembaran-lembaran rupiah. Mereka mengganti kebebasan yang dipunya rakyat miskin dan jelata dengan mengorbankan teriakan “bebas” versi tikus-tikus bergigi kecil.
Suara sumbang itu membuat ku prihatin. Sudah benarkah makna “bebas” itu? kembali kumendengar nada-nada sumbang bertebaran:
Ketika saudara senegriku berteriak “bebas”. Kumelihat beribu orang yang tidur berselempangan dibawah jembatan dijalan-jalan kota arabia. Saudaraku yang menunggu hukuman mati atas tindakan yang belum tentu penyebabnya karena kebusukan hati hingga bertindak melukai majikannya sendiri. Saudaraku yang dilecehkan, dipukuli, dihina bahkan dianiaya tanpa prikemanusiaan berjuang demi sesuap nasi meneteskan peluh dinegri orang, dimana awal keberangkatan tidak terlalu berfikir panjang. kenapa? karena percaya, bahwa “negrinya” akan menjaga "bebas” nya mereka bekerja, sebagai jaminan dimana telah memberikan devisa hingga dianggap pahlawan berjasa.
Ketika saudaraku ditengah negri meneriakkan kata “bebas” karena telah lulus mendapatkan ijazah, menikmati bangku sekolah dengan ujian celingukan melihat kunci jawaban yang bertebaran dimana-mana, saudaraku disudutan negri berteriak “bebas” dari yang namanya pendidikan. tanpa perlu melihat contekan karena tak kenal satu huruf dan angkapun tuk dapat dibaca.
Rekan-rekan, sudah benarkah makna "bebas" itu? menurutku belum.
Ironisnya keseluruhan jeritan “bebas” itu dimulai sejak sangat dini. Dimulai dari generasi muda yang gembar-gembor meyemarakkan kata-kata “bebas”. bayangkan, jika mayoritas generasi muda berusia dini memaknai sebuah kebebasan dengan perbuatan asusila dan tanpa mengenal landasan hukum agama.
Menjadikan tidak hanya “hati” mereka yang tidak “bebas” tapi juga pemikiran mereka. Kebebasan yang mereka rasakan hampa tanpa ada landasan norma dan etika didalamnya sehingga saat mereka diusia senja (produktif), sikap seenaknya itu akan terus berlanjut bahkan menganggap aplikasi "bebas" yang bernilai negatif sebagai tindakan yang wajar2 saja. hingga timbullah gejala KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme), kejahatan, anti-pati dll.
Mengapa? Sebab mereka sudah terbiasa dengan budaya tidak estetika. Mereka melakukan segala sesuatunya semau mereka tanpa perduli kata “benar-salah” atas nama “bebas” yang mereka anut sedari dulu. sehingga berdampak luas kesektor yang lain.
apakah makna bebas mu seperti itu?
selagi muda, ayoo kita renungi lagi...
kesempatan itu masih ada. sebelum mata tertutup saat panggilan ajal. rubahlah....
alangkah indahnya makna "bebas" yang kita punya sama.sehingga dapat tercerminkan dalam tingkah laku yang baik dan benar. saling bahu membahu mengingatkan dalam kebenaran. karena sesungguhnya semua kita pasti menginginkan “bebas” untuk hidup didunia yang aman, damai, dan sentosa. Serta “bebas” memilih surga mana yang akan dimasuki diakhirat nantinya. bukan..???
*semoga bermanfaat
^_^